Menurut Komaidi, kebutuhan terhadap energi fosil akan tetap tinggi, sesuai yang tergambar dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Meski teknologi Energi Baru Terbarukan (EBT) berkembang, energi fosil tetap akan menjadi andalan, setidaknya hingga 2045, karena permintaannya yang terus tumbuh.
“Penggalian minyak dan gas akan berlangsung terus menerus. Meski EBT sudah berkembang, industri petrokimia tetap memerlukan energi fosil,” ungkap Komaidi dalam rilisnya, Senin, 12 Juni 2023.
Dia berharap perusahaan migas nasional seperti Pertamina terus meningkatkan kesiapannya. Era transisi energi ini memerlukan adaptasi yang sigap.
“Eksploitasi migas akan terus berjalan sejalan dengan kebutuhan energi yang tak kunjung berhenti. Namun, penting juga untuk memastikan keseimbangan dengan pengembangan energi terbarukan,” sambung Komaidi.
Perubahan Strategi Negara Maju
Arcandra Tahar, mantan Wakil Menteri ESDM, juga menekankan pentingnya peran energi fosil dalam menjaga ketahanan energi. Melalui akun Instagramnya, @arcandra.tahar, ia menyebut bahwa konflik Rusia-Ukraina yang bermula akhir 2021 memaksa banyak negara maju untuk mengubah strategi energinya.
Uni Eropa menyadari bahwa transisi ke net zero emission membutuhkan waktu yang tidak singkat. Paling tidak, 30 tahun lagi energi fosil masih akan dibutuhkan.
“PLTU yang sempat dihentikan operasinya, kembali diaktifkan karena energi dari matahari dan angin belum cukup pasca-pandemi. Di 2022, Jerman kembali mengoperasikan PLTU dengan total 9 GW,” tulis Arcandra.
Dia juga mengungkapkan bahwa krisis energi di Eropa menyebabkan harga batu bara dan gas melonjak, khususnya saat musim dingin. Hal ini berimbas pada inflasi yang tinggi dan harga kebutuhan pokok yang merangkak naik. Dana subsidi yang sebelumnya dialokasikan untuk EBT malah dialihkan ke energi fosil.
AS Menguat
Amerika Serikat (AS) juga menunjukkan kekuatannya di sektor energi. Arcandra menyebut bahwa AS terus memenuhi kebutuhannya sendiri, terutama gas, walaupun sebagian minyak mentah masih diimpor.
“Ketika Presiden Biden memulai masa jabatannya, produksi minyak AS ada di angka 11 juta barel per hari. Di 2022, meningkat jadi 12 juta BOPD dan di 2023 diperkirakan naik lagi menjadi 13 juta BOPD,” pungkas Arcandra.
Sumber: medcom