CBM sudah lama dikenal oleh para pekerja tambang batubara, terutama dalam penambangan bawah tanah, sebagai gas tambang yang sering kali berbahaya. Gas ini kerap menyebabkan kecelakaan di tambang, termasuk ledakan dan longsor.
Kini, gas tambang ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Dengan mengolahnya, risiko bahaya terhadap pekerja tambang dapat dikurangi. Selain itu, pelepasan gas metana dari tambang yang dapat merusak atmosfer juga bisa dicegah.
CBM, yang juga dikenal sebagai coal seam gas (CSG) atau coal seam natural gas (CSNG), adalah gas alam yang terperangkap dalam lapisan batubara, dengan kandungan utama metana (CH4). CBM terbentuk selama proses pembatubaraan dan tetap terperangkap di dalam batubara. Gas ini bisa terbentuk secara biogenik atau thermogenik, dengan thermogenik yang menjadi fokus dalam eksplorasi CBM. Secara fisik, gas ini tak berwarna, tak berbau, dan tidak beracun, tetapi mudah terbakar dan bisa meledak jika bercampur dengan udara.
CBM terbentuk bersama air, nitrogen, dan karbondioksida saat material tumbuhan tertimbun dan mengalami perubahan menjadi batubara melalui proses panas dan kimia selama waktu geologi, yang dikenal sebagai coalification.
Produksi pada methane dari lapisan batubara dibagi menjadi 3 tipe proyek :
- Coal mine methane
- Coal bed methane
- Enhanced coal bed methane.
Setiap proyek memiliki kesempatan dan persoalan-persoalan yang berbeda
Karakter dari batubara yang baik untuk produksi CBM
- Kandungan gas: CBM memiliki kandungan gas yang tinggi, berkisar antara 15m³ hingga 30m³ per ton batubara.
- Permeabilitas: Batubara dengan permeabilitas baik memiliki kisaran 30mD. Namun, tekanan tinggi pada kedalaman tertentu bisa menyebabkan penurunan permeabilitas akibat terbentuknya struktur cleat.
- Kedalaman: Lapisan batubara yang ideal untuk CBM biasanya berada pada kedalaman kurang dari 1000 meter. Tekanan pada kedalaman yang lebih dalam sering kali sangat tinggi, menyebabkan penguapan dan berkurangnya permeabilitas.
- Peringkat Batubara: Sebagian besar proyek CBM memproduksi gas dari batubara bituminus, meskipun produksi dari antrasit juga mungkin terjadi. Kuantitas gas cenderung meningkat dari gambut hingga medium volatile bituminous rank, lalu menurun kembali menuju antrasit. Batubara dengan peringkat rendah (low rank) di Indonesia umumnya sudah mengandung CBM, meskipun kuantitas gas akan lebih banyak jika lapisan batubaranya lebih tebal
Pada prinsipnya, CBM tersimpan dalam coal matrix melalui proses adsorpsi, yang berarti gas menempel di dalam pori-pori coal matrix. Selain itu, CBM juga dapat berbentuk free gas atau gas bebas yang tidak menempel pada coal matrix. Cara penyimpanan CBM ini berbeda dengan gas konvensional. Gas konvensional biasanya tersimpan dalam bentuk terkompresi, yang pada dasarnya sama dengan free gas. Dalam eksplorasi CBM, lapisan batubara tidak hanya berfungsi sebagai reservoir tetapi juga sebagai source rock, tanpa adanya migrasi seperti pada gas konvensional.
CBM dapat keluar dari coal matrix melalui proses desorpsi, yang terjadi ketika tekanan (air) pada lapisan target diturunkan. Proses desorpsi ini terjadi melalui rekahan atau cleat dalam batubara. Hubungan antara kuantitas CBM yang tersimpan dalam coal matrix dan tekanan disebut sebagai Kurva Langmuir Isotherm, yang menggambarkan proses ini pada suhu konstan seiring perubahan tekanan. Penurunan tekanan dilakukan dengan memompa air (dewatering) dari lapisan batubara, yang juga menghasilkan sejumlah besar air. Proses eksploitasi CBM ini menghadirkan tantangan lingkungan, terutama karena volume air yang dihasilkan cukup banyak.